Pemilu adalah momen penting bagi sebuah negara. Bayangkan, jutaan suara harus dihitung dalam waktu singkat dan hasilnya harus akurat. Di sinilah matematika, lewat algoritma, berperan besar.
Sistem pemilu elektronik (e-voting atau e-recap) memanfaatkan algoritma untuk mengolah data suara. Saat pemilih memasukkan pilihannya, sistem merekam data secara digital, lalu mengirimkannya ke server pusat. Di tahap ini, matematika memastikan data tidak rusak atau diubah lewat metode enkripsi, teknik pengacakan data yang rumit tapi aman.
Kemudian, algoritma perhitungan menghitung total suara per kandidat di tiap TPS. Proses ini menggunakan logika dasar aritmetika, namun dalam skala masif. Ribuan hingga jutaan data diolah secara paralel, sehingga hasil nasional bisa diketahui dalam waktu jauh lebih singkat dibanding penghitungan manual.
Selain itu, ada algoritma deteksi anomali. Misalnya, jika jumlah suara di suatu TPS melebihi jumlah pemilih terdaftar, sistem otomatis memberi tanda peringatan. Matematika di sini bekerja untuk menjaga integritas hasil pemilu.
Namun, bagaimana dengan di Indonesia? Saat ini, e-voting belum digunakan dalam pemilu nasional seperti Pilpres atau Pileg. Penggunaan e-voting baru terbatas di beberapa Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di sejumlah daerah, dan itu pun hasilnya masih bersifat verifikasi pendukung. Sementara itu, sistem Sirekap yang digunakan KPU di Pemilu 2024 berfungsi sebagai alat bantu publikasi data, bukan hasil resmi penghitungan suara.
Meski penerapan e-voting skala nasional masih terbatas karena kendala infrastruktur dan kepercayaan publik, algoritma matematika sudah mulai hadir di tahap pendukung proses demokrasi, membuka jalan bagi kemungkinan penerapan yang lebih luas di masa depan.